Selasa, 14 September 2010

guard

otomatis 99
  
Puasa di Pesawat, Waktu Mana yang Dijadikan Patokan?
E-mail Print PDF
Syaikh Ali Jum’ah juga berpendapat bahwa seseorang yang berada di pesawat boleh berbuka saat matahari terbenam, walau ia melihat matahari tampak kembali

Hidayatullah.com--Sebagaiaman dilansir oleh situs resmi Dar Al Ifta Al Mishriya, Syaikh Dr.Ali Jum’ah, Mufti Mesir telah  memfatwakan beberapa masalah yang berhubungan dengan waktu puasa, jika seseorang sedang berada di pesawat.

Beberapa masalah yang dibahas menyangkut waktu yang dijadikan rujukan untuk berpuasa dan berbuka. Bagaimana pula jika matahari terbenam lebih panjang dibanding waktu normal. Bagaiman pula jika telah melihat matahari tenggelam, kemudian karena kecepatan pesawat melebihi kecepatan perputaran bumi, akhirnya matahari terlihat kembali?

Syaikh Ali Juma’ah menjawab dalam fatwa beliau yang bernomor 859 bahwa waktu yang dijadikan untuk patokan saat seseorang yang berpuasa berada di pesawat adalah waktu terbitnya fajar (shadiq) dan terbenamnya matahari, sesuai dengan nash al-Qur’an dan Hadits.

Beliau juga menjelaskan bahwa ketika seorang berada di tempat yang lebih tinggi, maka waktu  terbenam matahari lebih lama dari pada mereka yang tinggal di dataran lebih rendah. Sehingga para ulama sebelumnya separti Fakhruddin Az Zaila`i dan Ibnu Abidin memfatwakan bahwa orang yang berada di tempat yang tinggi tidak boleh berbuka, kecuali setelah melihat matahari terbenam, semisal mereka yang tengah berada di menara Iskandaria.

Jika terbenamnya matahari dijadikan patokan dalam berbuka, bagaimana jika waktu terbenamnya lebihnya lebih lama. Seseorang menceritakan bahwa ia pergi ke Kanada dari Mesir. Pesawat tinggal landas pukul satu siang. Perjalanan menuju Kanada sendiri memakan waktu 11 jam. Di masa itu matahari ternyata belum juga terbenam, hingga pesawat landing. Kalau berpedoman kepada tenggelamnya matahari, maka waktu puasa amat panjang.

Menjawab masalah ini Syaikh Ali Jum’ah tetap menyatakan dalam fatwa beliau yang bernomor 676, bahwa waktu berbuka adalah tenggelamnya matahari. Namun, jika berpuasa dalam kondisi demikian memberatkan, maka boleh meninggalkan puasa dan menqadha`nya di hari yang lain.

Nah, jika terbenamnya matahari menjadi patokan untuk berbuka, bagaimana jika seorang yang berpuasa di pesawat melihat matahari telah terbenam, namun kemudian terlihat kembali, karena kecepatan pesawat melebihi kecepatan rotasi bumi?

Masalah ini diakui oleh Syaikh Ali Jum’ah merupakan persoalan yang langka. Namun, jika keadaan ini terjadi, maka penumpang boleh berbuka saat melihat matahari terbenam. Dan tidak merusak puasa, jika ia melihat kembali matahari tampak. [tho/ift/hidayatullah.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar